Dua jam menjelang masuk waktu shalat Jumat, sehari setelah peringatan kemerdekaan Republik tercinta ini, akad nikah saya selesai dilakukan. Bahagia, karena biasanya memberi ucapan selamat, sekarang diselamati.
Selamat melepas masa lajang!.
Pada hari itu semua berbahagia. Aku dan suami bahagia karena bisa tidur berdua, tinggal bersama. Orang tua bahagia karena anaknya tidak jadi perawan tua. Kakak saya bahagia. Karena sebagai istri senior, juniornya bertambah.
Adik pertama saya juga bahagia. Seminggu lagi dia juga akan menyusul menikah tanpa takut harus melangkahi saya, sehingga tidak perlu membayar upeti satu stel baju pada kakaknya ini. Dan diantara kami, adik bungsu saya yang paling bahagia. Mulai minggu depan, perhatian mama papa hanya akan fokus padanya. Perawan satu-satunya.
Adik pertama saya juga bahagia. Seminggu lagi dia juga akan menyusul menikah tanpa takut harus melangkahi saya, sehingga tidak perlu membayar upeti satu stel baju pada kakaknya ini. Dan diantara kami, adik bungsu saya yang paling bahagia. Mulai minggu depan, perhatian mama papa hanya akan fokus padanya. Perawan satu-satunya.
Keluarga besar kami tentu juga menyambut bahagia pernikahan ini. Ini tandanya akan ada pesta, akan ada acara keluarga dan momen bertambahnya anggota keluarga baru. Alhamdulilaah.
Dibalik semua kebahagiaan, jauh dalam lubuk hati terdalam, mempelai wanita merasa sedih. Sedih karena sudah resmi lepas dari tanggung jawab orang tua yang selama ini banyak berkorban untuknya. Apalagi bahkan separuh dari jasa mereka belum sempat dibalasnya. Pengantin wanita yang bersedih itu saya.
Tidak hanya tentang kesedihan, ada juga getar ketakutan yang kurasa saat itu. Aku takut jika aku menikah dengan orang yang salah. Aku takut pernikahan yang nanti kujalani tidak seindah impianku selama ini.
Karena apa?.
Karena beberapa jam sebelum akad, ia memintaku mengirim nama lengkapku dan nama papaku. Suamiku bahkan tidak tahu nama lengkapku meski hampir setahun kami kenal. Tidak hanya kenal biasa, tapi lebih sedikit dari itu. Kami "berpacaran". Ah, rasanya geli menulis kata itu.
Ya, sejak menikah, aku tidak srek dengan kata itu. Entah kenapa rasanya kekanakan, alay, unfaedah dan menggelikan. Efek sudah mulai menua, mungkin.
Lanjut...!
Rasanya wajar aku takut hidup bersama orang yang tidak tahu detail diriku. Terlihat kalau dia tidak menggilaiku. Padahal aku memimpikan hidup bersama suami yang cinta mati padaku supaya ketika menikah, dia akan memperlakukan aku sebagai seorang putri. Sebagai ratu tanpa Salome. Soalnya kalau Ratu Salome itu Lucinta haLuna.
Tapi semua ketakutan harus dibalas dengan keoptimisan. Karena mau setakut apapun, kita belum bisa menebak ke depannya seperti apa. Dan lagi semua sudah terjadi, aku dan dia sudah resmi menjadi suami istri. Tinggal menjalani apa yang sudah kami mulai.
Yah, begitulah. Akhirnya kami sah menikah dan tanpa disangka semua berjalan jauh dari yang diduga. Bahkan hingga kini, sudah memasuki tahun ketiga pernikahan kami. Semoga bisa lanjut hingga tiga tahun berikutnya, berikutnya dan selamanya. Bantu doanya, ya....Aamiin!.
0 Comments